Untuk bapak. Mungkin, penggalan ini benar.

 
Anak-anak bapak sudah dewasa, pak. Tapi bapak malah milih nikah lagi, jual rumah yang bapak bangun sama ibu dan bercerai sama ibu. Mungkin saat itu Allah memberiku rejeki yang cukup agar bisa membeli rumah bapak, jadi sekarang rumah ini milik aku dan Ibu. Pak, anak-anak bapak tetap tinggal sama Ibu, masih di rumah ini. 

Aku dengar kini bapak sering sakit, tidak punya uang serta hidup susah. Juga utang bapak ada dimana-mana. Pak, kenapa? Kenapa hal itu yang bapak pilih? Pak, sungguh anak-anak bapak pasti mampu membiayai bapak dan ibu. Tapi kenapa bapak memilih pergi dari kami?! Katanya rejeki bapak dimatikan karena rejeki anak-anak dinyalakan, apa benar pak? 

Pak, bapak adalah laki-laki yang membuatku sangat patah hati. Aku masih ingat betul bagaimana aku menangis saat tau keputusan itu yang bapak pilih. Bapak tau bagaimana anak-anak lain merasa dihajar oleh kerasnya dunia?! Pak, aku sudah melewati itu. Rasanya dihajar dunia tidak seberapa dibanding dengan luka yang bapak buat. Hingga aku pernah berucap, mungkin aku memilih untuk tidak menikah jika laki-laki tersebut seperti bapak.

Aku sibuk sekali, mungkin lebih tepatnya menyibukan diri. Aku mengambil banyak pekerjaan, bersepeda dan berlari saat punya waktu luang hingga rasanya aku lelah dan akan terlelap di malam hari. Tapi kadang, saat fajr tiba aku teringat dan tetap menangis. Aku sering kali berdoa, agar aku bisa menjadi manusia pemaaf, memiliki hati yang lapang dan kehidupan yang tenang.


Share:

0 Comments:

Post a Comment

Tinggalkan komentarmu disini...

Hello!

Hello, thank you for being here. I hope you have a good time browsing around and enjoy reading on my blog! :)